KOMPAS.com - Cuaca ekstrem membuat dunia rugi 2 triliun dollar AS atau sekitar Rp 31 kuadriliun selama 10 tahun terakhir.
Temuan tersebut mengemuka dalam penelitian terbaru yang ditugaskan oleh Kamar Dagang Internasional atau ICC berjudul The Economic Cost of Extreme Weather Events yang dirilis baru-baru ini.
Penelitian tersebut menganalisis 4.000 persitiwa cuaca ekstrem terkait iklim, mulai dari banjir bandang yang meluluhlantakkan permukiman hingga kekeringan yang merusak pertanian.
Baca juga: Riset FPCI: Ulama Pegang Peran Penting Aksi Perubahan Iklim di Akar Rumput
Menurut studi tersebut, dalam dua tahun saja, kerusakan ekonomi akibat cuaca ekstrem mencapai 451 miliar dollar AS, sebagaimana dilansir The Guardian, Senin (11/11/2024).
Sekretaris Jenderal ICC John Detton mengatakan, cuaca ekstrem yang merugikan dunia tersebut tak lepas dari dampak perubahan iklim.
"Kerugian produktivitas yang besar akibat peristiwa cuaca ekstrem dirasakan saat ini oleh ekonomi riil," kata Denton.
Denton berujar, membiayai aksi iklim di negara-negara berkembang tidak boleh dilihat sebagai tindakan kemurahan hati oleh para pemimpin ekonomi terkaya di dunia.
"Setiap dolar yang dibelanjakan, pada akhirnya, merupakan investasi dalam ekonomi global yang lebih kuat dan lebih tangguh yang menguntungkan kita semua," jelas Denton.
Baca juga: Studi: Perubahan Iklim Makin Mengkhawatirkan akibat Polusi Plastik
Laporan tersebut menemukan tren kenaikan bertahap soal kerugian akibat peristiwa cuaca ekstrem antara 2014 hingga 2023.
Dari berbagai negara, Amerika Serikat (AS) menderita kerugian ekonomi terbesar selama 10 tahun terakhir, yakni sebesar 935 miliar dollar AS.
Diikuti oleh China sebesar 268 miliar dollar AS dan India sebesar 112 miliar dollar AS.
Jerman, Australia, Perancis, dan Brasil masuk dalam 10 besar negara yang menderita kerugian terbesar akibat cuaca ekstrem.
Sementara itu, jika diukur per orang, warga negara di pulau-pulau kecil seperti Saint Martin dan Bahama mengalami kerugian terbesar.
Baca juga: Studi: Pemilik Aset Dapat Dorong Investasi Perubahan Iklim
ICC mendesak para pemimpin dunia untuk bertindak lebih cepat dan memberikan pembiayaan kepada negara-negara yang membutuhkan bantuan.
Ilan Noy, ekonom kebencanaan dari Victoria University of Wellington, mengatakan estimasi kerugian dari penelitian tersebut selaras dengan studi yang telah dia lakukan sebelumnya.
Akan tetapi, dia memperingatkan bahwa data yang mendasarinya tidak menggambarkan gambaran lengkap.
"Peringatan utamanya adalah bahwa angka-angka ini sebenarnya tidak mencerminkan dampak yang sebenarnya terjadi, di komunitas miskin dan di negara-negara rentan," jelas Noy.
Baca juga: Pengurangan Produksi Daging Sapi di Negara Kaya Bantu Lawan Perubahan Iklim
Sebuah studi tahun lalu di mana Noy ikut terlibat di dalamnya memperkirakan, kerugian akibat cuaca ekstrem yang disebabkan oleh kerusakan iklim sebesar 143 miliar dollar AS per tahun.
Akan tetapi, penelitian tersebut masih terkendala oleh kesenjangan data, terutama dari wilayah Afrika.
"Sebagian besar dampak yang dihitung terjadi di negara-negara berpendapatan tinggi – di sanalah nilai aset jauh lebih tinggi, dan di mana angka kematian akibat gelombang panas dihitung jauh lebih besar," kata Noy.
Padahal, hilangnya rumah dan mata pencaharian di masyarakat miskin di negara-negara miskin lebih dahsyat dalam jangka panjang daripada kerugian di negara-negara kaya.
Baca juga: Citra Satelit Bisa Bantu Lindungi Hutan Pesisir dari Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya