KOMPAS.com — Peneliti Pusat Riset Teknologi Pengujian dan Standar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang Prasetya, mengatakan bahwa salah satu manfaat bioteknologi pada tanaman pangan terhadap lingkungan adalah kemampuannya menurunkan emisi hingga 23 miliar kilogram CO2, berdasarkan hasil penelitian global tahun 2018.
Menurut Bambang, penurunan emisi tersebut terjadi karena efisiensi penggunaan lahan dalam pengembangan tanaman bioteknologi. Bioteknologi memungkinkan peningkatan hasil panen tanpa perlu perluasan lahan secara besar-besaran.
Beberapa jenis tanaman bioteknologi dapat tumbuh di lahan marginal yang sebelumnya tidak bisa dimanfaatkan, membuka potensi lahan baru dan berfungsi sebagai penyerap karbon.
“Berdasarkan penelitian yang sama, penggunaan bioteknologi ini mampu menyelamatkan 231 juta hektar lahan agar tetap menjadi kawasan hijau dan menjalankan fungsinya sebagai penyerap karbon di 71 negara yang mengadopsi bioteknologi tanaman pangan,” jelas Bambang dalam acara Media Class 2025 bertajuk “The Science Behind: Food Security” di Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Baca juga: Hemat Pestisida dan Lahan, Tanaman Bioteknologi Dukung Keberlanjutan
Ia menambahkan, dari 1996 hingga 2018, 71 negara yang telah menerapkan teknologi ini mengalami peningkatan hasil produksi sebesar 822 juta ton, setara dengan nilai pendapatan sebesar 221 miliar dolar AS.
Pada aspek efisiensi input pertanian, variasi tanaman bioteknologi yang tahan terhadap hama dan gulma juga berkontribusi besar. Sepanjang periode yang sama, penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya berhasil dihemat hingga 776 kilogram.
“Selain itu, bioteknologi tanaman pangan ini telah mengentaskan kemiskinan sekitar 16–17 juta orang di negara berkembang yang menjadi bagian dari penelitian tersebut,” ujar Bambang.
Ia menjelaskan bahwa berbagai variasi bioteknologi tanaman pangan juga berperan dalam mengatasi tantangan ketahanan pangan akibat iklim yang tidak menentu, curah hujan tinggi, kekeringan, maupun serangan penyakit tanaman.
Salah satu contoh adalah tebu PRG N X1 4T yang dirancang untuk tahan terhadap kekeringan. Tanaman tersebut diuji coba pada tahun 2023 di Jawa Timur.
“Saat itu, warga yang terlibat dalam uji coba mengatakan bahwa tebu tetap tumbuh hijau dan segar dibandingkan dengan tebu biasa,” ujar Bambang.
Baca juga: Bioteknologi Jagung, Peluang Indonesia Jawab Masalah Ketahan Pangan
Contoh lainnya adalah jagung tahan kekeringan yang diuji pada tahun 2020. Hasilnya menunjukkan ukuran jagung yang lebih besar dan biji yang utuh, dibandingkan dengan jagung biasa yang cenderung kecil dan tidak utuh.
“Bioteknologi tanaman pangan ini merupakan solusi untuk mewujudkan ketahanan pangan dan keberlanjutan pertanian yang ramah lingkungan,” tegasnya.
Meski demikian, Bambang mengakui bahwa tantangan terbesar terletak pada proses pengembangannya yang memakan waktu panjang. Bioteknologi tanaman pangan harus melalui berbagai tahap uji untuk memastikan keamanan bagi manusia, hewan dan lingkungan.
“Waktu yang diperlukan sekitar 12–13 tahun untuk mengembangkan bioteknologi ini. Kami mulai pada tahun 2011 untuk berbagai macam tanaman seperti jagung, tebu, dan kedelai, dan baru bisa diuji coba sekitar dua tahun terakhir,” ujarnya.
Namun, dengan mempertimbangkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang telah terbukti, Bambang menekankan bahwa inovasi bioteknologi tetap harus dikembangkan sebagai upaya menuju ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Baca juga: Emisi Kapal Turun jika Temukan Jalur Pelayaran Baru yang Efisien
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya