Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

kolom

Kepemimpinan dalam Energi Terbarukan: Bauran Energi untuk Target 2030

Kompas.com - 29/01/2024, 10:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GLOBAL Risk Report 2024 keluaran World Economic Forum (WEF) mengemukakan ancaman dalam 10 tahun kedepan.

Empat ancaman teratas menurut mereka adalah: extreme weather events, critical change to earth systems, biodiversity loss and ecosystem collapses, dan natural resource shortages.

Kesemuanya ini merupakan ancaman berbasis lingkungan. Dunia sedang berjuang keras untuk menjaga alam kita tetap stabil.

Memanfaatkan energi terbarukan menjadi salah satu cara yang secara jangka panjang dapat membantu menjaga iklim bumi.

Pada Conference of Parties (COP) 28 di Dubai tahun lalu, hampir seluruh negara sepakat untuk mengurangi bahan bakar fosil.

Presiden COP 28, Sultan Al-Jaber, mengakui, ini merupakan “sejarah” di mana hampir seluruh negara satu suara.

Namun demikian, pekerjaan rumahnya adalah bagaimana menyelaraskan antara ucapan dan tindakan. Komitmen pengurangan bahan bakar fosil jadi harapan terakhir bagi dunia.

Pasalnya, pada 2030 nanti, suhu bumi akan mulai meningkat. Alhasil, kesepakatan bersama ini menjadi senjata terakhir bagi dunia.

Tantangan Indonesia

Indonesia sudah berkomitmen dalam meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Potensi energi terbarukan di Indonesia sangat besar, yaitu 3.686 GW.

Pemanfaatannya masih sangat sedikit. Ada ruang yang sangat besar untuk mengembangkan energi terbarukan sampai potensi maksimalnya, sehingga pemimpin perlu membuat kebijakan yang berorientasi pada pemanfaatan energi terbarukan dari hulu sampai hilir.

Pemimpin kita sudah berupaya maksimal dalam melaksanakan komitmen tersebut. Banyak pembangkit listrik yang berbasis energi terbarukan telah dibangun.

Di Sulawesi Selatan, ada dua pembangkit listrik bertenaga angin yang terletak di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Jeneponto.

Sementara itu, hingga 2021, ada 17 pembangkit listrik panas bumi yang beroperasi di berbagai daerah di Indonesia. Tentu, masih banyak pembangkit listrik berbasis energi terbarukan lainnya yang tersebar di banyak kepulauan.

Pada November 2023 lalu, Presiden Jokowi meresmikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Cirata sebesar 192 MW di Purwakarta, Jawa Barat. PLTS Terapung Cirata menjadi PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara.

Namun demikian, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia terancam belum memenuhi target sampai pada tenggat waktu yang ditentukan.

Sampai pada 2023, bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai 13,1 persen. Menurut Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2014, bauran energi terbarukan di Indonesia pada 2025 harus mencapai 23 persen dan pada 2030 mencapai 34 persen.

Ada beberapa tantangan yang menghambat pemimpin Indonesia memenuhi target tahun 2025.

Tantangan pertama adalah dari segi finansial. Transisi dari energi fosil menuju energi terbarukan memang membutuhkan dana tidak sedikit.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, estimasi biaya transisi dari energi fosil ke energi terbarukan membutuhkan Rp 3.500 triliun. Indonesia tentu membutuhkan dana dari luar agar pembangunan energi terbarukan terakselerasi.

Indonesia sebenarnya beruntung bergabung dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP), di mana Indonesia akan disokong dana dari beberapa negara maju sebesar 20 milliar dollar AS atau sekitar Rp 310 triliun.

Namun, dalam implementasinya, porsi dana hibah yang diberikan baru sebesar 130 juta dollar AS. Hal ini membuat Indonesia kesulitan dalam memenuhi komitmennya.

Tantangan lainnya yang memengaruhi adalah dari sisi kebijakan. Pemimpin kita masih berusaha menyesuaikan regulasi energi terbarukan, sehingga belum ada pakem yang jelas.

Ketiadaan pakem yang jelas ini membuat para pemimpin sektor swasta ragu untuk ikut berkontribusi mengembangkan energi terbarukan.

Menurut Ketua I METI, Bobby Gafur Umar, perlu ada kebijakan jangka panjang dan memberi kepastian bagi semua pemangku kepentingan.

Tantangan-tantangan tersebut memiliki kontribusi besar dalam percepatan adopsi energi terbarukan. Tanpa bantuan dana hibah dari negara maju, Indonesia akan kesulitan mengejar target energi terbarukan.

Bahkan, ketidakpastiaan kebijakan membuat semua pemangku kepentingan enggan untuk berkontribusi. Bahkan, Indonesia bisa terancam tidak memenuhi target yang diusung.

Apakah Indonesia akan berkompromi dengan target energi terbarukan atau tetap berusaha mencapainya? Tentu ini pertanyaan besarnya.

Dengan tenggat waktu yang semakin sempit, berkompromi dengan target mungkin akan menjadi langkah realistis mengingat banyak tantangan yang menghambat pengembangan energi terbarukan.

Di sisi lain, ketika pemerintah berkompromi, itu bisa menjadi satu langkah dekat menuju bumi yang tidak lagi ramah bagi rakyat.

Dunia membutuhkan seluruh negara untuk menggunakan energi terbarukan. Terlebih, Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat dunia. Kontribusi Indonesia akan signifikan bagi dunia.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com