Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/06/2024, 18:00 WIB
Sigiranus Marutho Bere,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KUPANG, KOMPAS.com - Mega gelap bergelayut di angkasa, menutupi pergerakan sang surya di langit Desa Buraen, Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (4/6/2024) siang.

Semilir angin berembus pelan, Sersan Dua (Serda) Julianus Salamba (40), mengendarai sepeda motor dinas jenis Kawasaki 150 CC masuk ke dalam komplek Kantor Satuan Radar 226 Buraen, milik Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU).

Siang itu, Salamba baru selesai menjalankan tugas mengawasi radar yang berada persis di perbatasan dengan dua negara, Australia dan Timor Leste.

Sepeda motor trail warna biru tua keluaran terbaru, diparkir di bagian depan sebelah kanan kantornya.

Sekelebat Salamba yang bertubuh gempal berjalan menuju Kompas.com yang saat itu menyambangi Satuan Radar Buraen.

Senyum terpancar jelas di raut wajah pria asal Toraja, Sulawesi Selatan, itu. Tak ada kesan sangar.

Maklumlah, selain fokus bertugas di radar, Salamba juga sebagai Bintara Pembina Potensi Dirgantara (Babinpotdirga). Praktis, kesehariannya selalu bersentuhan dengan warga sekitar.

Seraya duduk santai di tangga kayu saung depan kantor, Salamba memulai kisah pengalamannya bertugas.

Sudah 19 tahun lamanya pria kelahiran Ambon, Maluku, tahun 1984, itu mengabdi di radar paling selatan Indonesia.

Sebagai salah satu dari dua personel yang paling lama bertugas di kantornya, Salamba sudah banyak mengalami pahit dan manis kehidupan.

"Awal pertama kali saya bertugas di sini tahun 2005, sinyal HP (telepon seluler) tidak ada. Kondisi jalan dari Kota Kupang ke sini juga rusak," ungkapnya.

Untuk bisa mengakses jaringan ponsel, Salamba dan sejumlah rekannya, harus menumpang truk ke tengah kawasan hutan lindung Herman Yohanes yang berjarak sekitar enam kilometer.

Di kawasan hutan itu pun, hanya ada satu titik munculnya sinyal ponsel. Mereka menyebutnya tikungan SMS.

"Setiap malam minggu, setelah teman-teman yang muslim melaksanakan shalat isya, kami semua ramai-ramai naik truk ke tikungan SMS di dalam hutan," ujar Salamba.

Komunikasi menggunakan ponsel bagi Salamba dan rekan-rekannya juga penting, meski sekadar berbagi informasi dan kabar dengan keluarga terdekat yang berada jauh di lain pulau.

Walaupun saat itu sudah ada telepon kantor menggunakan satelit, tetapi anggota hanya dikasih waktu terbatas untuk menelepon. Maksimal lima menit per anggota.

"Sehingga kami lebih memilih ke tikungan SMS saat malam minggu, karena bisa lama bicara dengan keluarga, orangtua dan sanak saudara," cetus Salamba.

Kondisi jalan menuju hutan pun tak mulus. Meski jalan beraspal, tapi rusak di sepanjang jalan. Banyak lubang menganga. Mobil pun berjalan tertatih-tatih hingga ke tujuan.

Semua itu dijalani Salamba dan rekannya yang lainnya dengan semangat juang yang tinggi, hingga akhirnya memasuki tahun 2010 sampai kini, akses telepon telah lancar. Begitu juga kondisi jalan raya beraspal hotmix mulus, dari Kota Kupang ke lokasi radar.

Sersan Dua (Serda) Julianus Salamba KOMPAS.com/Sigiranus Marutho Bere Sersan Dua (Serda) Julianus Salamba
Pro Kontra Keberadaan Radar Buraen

Selain dirinya yang merasakan kondisi sulit di awal bertugas, Salamba juga mendengar kisah dari para seniornya yang pertama kali bertugas di radar pada tahun 1999 silam.

Saat itu, kantor yang mereka tempati masih kosong berupa hutan tanpa ada bangunan. Hanya ada bekas instalasi meriam tentara Jepang pada saat melawan sekutu.

Personel yang mengawaki radar Buraen hanya menggunakan tenda-tenda untuk berlindung dari dinginnya angin udara pesisir laut pantai selatan Pulau Timor.

Baru, sekitar tahun 2002 hingga 2003 mulai didirikan bangunan markas.

Muncul juga pro dan kontra dari warga setempat terkait pendirian markas. Akibatnya, ada warga yang melempari batu ke areal markas.

Isu yang santer dan berkembang di masyarakat kala itu, soal dampak radiasi yang bisa membuat warga tak bisa memiliki keturunan alias mandul.

Namun, isu yang muncul itu akhirnya terbantahkan seiring berjalannya waktu. Masyarakat setempat akhirnya menerimanya.

"Pemikiran dan pemahaman masyarakat kita tidak sama. Setelah dijelaskan terus menerus, akhirnya masyarakat bisa menerimanya," ujar dia.

Kehadiran satuan radar tidak hanya fokus mengawasi pergerakan pesawat, tetapi juga bisa membantu masyarakat sekitar.

Sejumlah kegiatan bhakti sosial dengan pemberian bantuan sembako dan pengobatan gratis pun kerap digelar.

Bahkan personel radar juga sering menolong warga sekitar yang mengalami masalah pada kendaraan saat berwisata di pantai dekat lokasi radar.

"Yang terbaru, kemarin ada warga yang celaka, kami bawa ke klinik radar untuk diobati sementara," ujar Salamba.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com