KOMPAS.com - Berbagai aktivitas manusia, terutama dalam bidang energi, menjadi kontributor utama dalam pemanasan global.
Sektor energi yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil, terutama batu bara, membuang emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai penyebab utama pemanasan global.
Oleh karenanya, masa depan akan bergantung kepada pemensiunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan bagaimana pengembangan energi terbarukan.
Baca juga: PLTU Batu Bara Didesak Dipensiunkan, Kejar Target Penurunan Emisi
Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) Raditya Yudha Wiranegara mengatakan, pekerjaan rumah (PR) sekarang adalah membuat rencana menurunkan ketergantungan pada pembangkit listrik berbasis batu bara.
Radit menjelaskan, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 mengatur didorongnya perkembangan energi terbarukan.
Pasal ketiga dalam Perpres tersebut memuat mandat bagi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mulai membuat skenario percepatan pensiun PLTU batu bara.
Terdapat pula larangan untuk tidak membangun PLTU setelah Perpres tersebut disahkan, terkecuali yang saat ini tengah direncanakan dan yang termasuk dalam proyek strategis nasional.
Baca juga: Walhi: PLTU Captive di Smelter Nikel Jadi Ironi Transisi Energi
"PLTU yang ada juga harus mulai menurunkan emisi mereka, hingga semua dipensiunkan pada tahun 2045," kata Radit dalam dalam acara Energy Talk yang diadakan oleh Society of Renewable Energy (SRE) Universitas Hasanuddin, Sabtu (24/6/2023).
"Namun, perencanaan ini masih dalam pembicaraan yang dinamis, pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana melakukan pensiun PLTU di 2030," sambung Radit.
Radit memaparkan, keuntungan dari pensiun dini PLTU yakni dua hingga empat kali biaya dapat dihemat, hal ini berdasarkan studi IESR dengan Universitas Maryland.
Dia menekankan, keuntungan tersebut termasuk keuntungan biaya kesehatan atas kualitas udara dan berkurangnya subsidi listrik yang harus dikeluarkan mengingat listrik kita sekarang disubsidi.
Baca juga: Walhi Sebut PLTU Captive Berdampak Buruk bagi Lingkungan dan Masyarakat
Meski demikian, dalam melakukan pensiun PLTU batu bara, terdapat beberapa tantangan.
Di antaranya adalah perlu biaya di depan yang cukup besar, sekitar 4,6 miliar dollar AS sampai 2030 dan 27,5 miliar dollar AS sampai 2050, yang memerlukan dukungan internasional yang besar untuk mencapainya.
Selain itu, diperlukan 1,2 triliun dollar AS untuk menggantikan pembangkitan listrik PLTU dengan energi terbarukan.
Baca juga: Aksi Bersih Pantai Koala di Bangka, Sampahnya Dipilah untuk Woodchips PLTU
Tak lupa, mengenai aspek legalitas, Radit menilai bahwa baik PLN dan produsen listrik swasta (IPP) memiliki beberapa skenario yang harus dipenuhi dalam memensiunkan PLTU batu bara.
Misalnya, PLN perlu diinvestigasi oleh badan audit jika terjadi kerugian negara akibat berkurangnya PLTU, dan IPP dapat mengajukan gugatan akan kerugiannya.
"Dari hasil studi yang kami lakukan, kami menemukan bahwa dalam hal biaya mitigasi, membatalkan proyek PLTU adalah opsi paling terjangkau dalam mengurangi emisi karbon. Membatalkan juga akan menghindari biaya besar yang akan terjadi ketika kelak harus dipensiunkan," ujar Radit.
Baca juga: Ini 12 PLTU yang Bisa Dipensiunkan Dini Tahun Ini
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya