Ia juga meyakini, berdirinya PLTT tidak akan mengganggu aktivitas nelayan, yang menjadi profesi mayoritas warga Batu Beriga. Karena menurutnya, dampak negatif dari berdirinya PLTT tersebut sangat minim.
Menurut Sugeng, aktivitas nelayan tidak akan terganggu karena pembangunan PLTT hanya mengambil beberapa ratus meter dari bibir pantai.
Berkenaan dengan limbah yang berpotensi sebagai bahan radioaktif, tergantung asal bahan bakar yang didatangkan.
"Jika dari luar, limbah akan dikembalikan ke negara asal. Jika dari Indonesia, pemerintah pusat akan melakukan penyimpanan limbah lestari," katanya.
Sugeng mengatakan, manfaat lain dari berdirinya PLTT yakni sumbangsih terhadap penurunan emisi karbon. Hal ini sejalan dengan program pemerintah pusat yang menginginkan zero emission 2060.
PLTT dinilai menjadi salah satu solusi paling potensial pengganti PLT Batubara. Karena, tenaga thorium dianggap menjadi sumber energi listrik termurah oleh para ahli energi selain tenaga matahari, tenaga angin, dan lainnya.
Baca juga: Kolaborasi Indonesia-Korsel dalam Transisi Energi
Sebaliknya, PLTT tidak menyumbangkan karbon. Bentuknya di dalam atom, hingga mengeluarkan energi, simpel seperti itu sebenarnya. Sama sekali tidak ada pembakaran.
"Hanya, karena ini luar biasa harus dikendalikan. Ini justru dalam rangka memenuhi green energy, dan green lingkungan. Secara nasional kita bisa mengurangi emisi karbon," papar Sugeng.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan sebagai koordinator yaitu Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) saat ini secara intensif melakukan pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan.
RUU ini merupakan inisiatif DPR dan masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2022. Regulasi ini diharapkan menjadi regulasi yang komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang berkelanjutan dan adil sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.
Sebelumnya, Pemerintah telah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan EBT Untuk Penyediaan Tenaga Listrik sebagai salah satu upaya menarik lebih banyak investasi dalam pengembangan energi terbarukan.
Baca juga: Koalisi Transisi Bersih Sebut Industri Sawit Rentan Jadi Ruang Korupsi
Tidak hanya mengatur pemanfaatan energi terbarukan dari segi harga dan mekanisme pengadaan, tetapi juga transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang meliputi peta jalan percepatan penghentian PLTU dan pembatasan pembangunan pembangkit baru.
"RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan disusun sebagai kebutuhan mendesak dimana diperlukan kerangka regulasi yang komprehensif yang dapat menjaga ekosistem investasi EBT yang kondusif, adil, dan berkelanjutan, sehingga EBT dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat,” kata Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana dikutip dari laman situs ebtke.esdm.go.id.
Dengan adanya regulasi dalam bentuk Undang-Undang ini, lanjut Dadan, diharapkan ada kepastian hukum, penguatan kelembagaan dan tata kelola, penciptaan iklim investasi yang kondusif, serta sumber EBT untuk pembangunan industri dan ekonomi nasional.
Substansi Pokok Pendalaman Daftar Inventarisasi Masalah/DIM RUU ini meliputi transisi energi dan peta jalan, sumber EBT, nuklir, perizinan berusaha, penelitian dan pengembangan, harga EBT, dukungan pemerintah, dana EBT, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), pembagian kewenangan, pembinaan dan pengawasan, serta partisipasi masyarakat.
Baca juga: Interkonektivitas Infrastuktur Jadi Kunci Ketahanan Energi ASEAN
Lebih rinci Dadan menjelaskan aspek strategis pengaturan, fokus Pemerintah pada RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan ini.
Antara lain, ekonomi hijau dan transisi energi dapat dilakukan melalui pengembangan EBT dan konservasi energi, pengembangan sumber energi dengan emisi rendah karbon, pengelolaan energi nuklir secara terpadu dan pembangunan PLTN yang menerapkan proven technology.
Analis Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Bangka Belitung Ardienaka mengatakan, sebagai daerah penambangan timah yang telah berlangsung selama ratusan tahun, Bangka Belitung memiliki cadangan logam tanah jarang atau rare earth elements (RRE) yang melimpah.
"Kalau kita lihat tabel periodik yang sifatnya radioaktif itu Bangka Belitung punya semua," ujar Eka.
Menurut Eka, produk turunan REE akan menjadi sumber energi masa depan dunia, tidak hanya berupa thorium. Material yang berasal dari REE juga digunakan untuk perangkat elektronik, medis hingga kendaraan listrik.
Baca juga: Pembiayaan Campuran Jadi Upaya Kejar Transisi Energi
Dari buku Potensi Logam Tanah Jarang di Indonesia yang diterbitkan Badan Geologi Kementerian ESDM 2019, LTJ merupakan salah satu dari mineral strategis dan termasuk "critical mineral" yang merupakan kumpulan dari 17 unsur kimia.
Unsur kimia tersebut antara lain scandium (Sc), lanthanum (La), cerium (Ce), praseodymium (Pr), neodymium (Nd), promethium (Pm), samarium (Sm), europium (Eu), gadolinium (Gd), terbium (Tb), dysprosium (Dy), holmium (Ho), erbium (Er), thulium (Tm), ytterbium (Yb), lutetium (Lu) dan yttrium (Y).
"Di satu sisi cadangan batu bara di Indonesia masih sangat besar. Bukit Asam saja bisa sampai 150 tahun, tentunya ini bagian pertimbangan dalam transisi energi nantinya," pungkas Eka.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya