Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Thorium, Tantangan dan Harapan Energi Masa Depan dari Tanjung Berikat

Kompas.com - 31/08/2023, 17:00 WIB
Heru Dahnur ,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

Bob mengeklaim, penggunaan energi Thorium tidak membahayakan seperti yang ditakutkan masyarakat. Bahkan, energi tersebut cenderung ramah lingkungan dan sejalan dengan program pemerintah dalam pengadaan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk menggantikan batu bara.

Baca juga: Ini Pentingnya Mineral Kritis bagi Transisi Energi Semua Negara

"Kalau kita bicara nuklir di Indonesia, sebenarnya sudah lama, sejak zaman Soekarno sudah ada. Beliau telah mengarah ke situ, tapi kemudian terjadi pergantian dan kita memilih batu bara. Sekarang batu bara dianggap tidak ramah lingkungan sehingga ini kita tawarkan," ujar Bob.

Pada tahap awal, PLTT akan dibangun bekerja sama dengan Korea Selatan. Selanjutnya reaktor akan dibawa ke Pulau Gelasa. Reaktor akan ditanam di dasar laut di sekitar pulau tersebut.

"Kalau kita olah dari awal, ini akan butuh waktu lebih lama. Jadi tahap awal ini dengan Korea Selatan, baru setelah itu kita bertahap pengolahan sendiri dari monasit yang dimiliki," ungkap Bob.

Bob mengaku anggaran yang sudah disiapkan mencapai Rp 17 triliun. Sebanyak Rp 50 miliar sudah dihabiskan untuk berbagai keperluan, mulai dari penelitian, pembuatan prototipe, penyusunan buku hingga mobilisasi rapat dengan pemerintahan.

Bob mengungkapkan, konsep PLTT berbeda dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang dikenal selama ini. Perbedaan utama yakni PLTN konvensional menggunakan bahan bakar padat, sedangkan PLTT berbahan bakar cair.

Sementara untuk pendinginan, PLTN konvensional menggunakan air. Sementara PLTT pendinginnya berupa garam. 

Baca juga: Pembiayaan Campuran Jadi Upaya Kejar Transisi Energi

Karena menggunakan media air, maka PLTN konvensional bertekanan tinggi hampir 150 Bar atau sama tekanannya saat turun setengah kilometer di bawah permukan laut.

Sementara PLTT karena garam dan titik di garam tinggi, maka bisa beroperasi di temperatur lebih tinggi sehingga menyebabkan tidak ada tekanan.

Alhasil tekanan di dalam reaktor PLTT itu hanya 10 Bar, hampir sama dengan tekanan air keran di rumah.

"Karena sifatnya sudah cair, tidak bertekanan maka istilahnya kejadian di Fukushima dan Chernobyl bisa dijamin tidak mungkin terjadi," ujar Bob.

PLTT diperkirakan baru terealisasi pada 2031-2032 atau dibutuhkan waktu sekitar 9 tahun dari sekarang.

Pengembang harus melewati serangkaian tahapan, seperti pembangunan laboratorium bahan bakar, studi lingkungan hingga perubahan tata ruang daerah.

PT Thorcon, kata Bob, bekerja sama dengan Intitut Teknologi Bandung (ITB) untuk membangun laboratorium bahan bakar. Namun tahap ini masih dalam uji coba dan belum akan digunakan untuk pembangkit.

"Operasional pertamanya kita datangkan dari Korea Selatan, dibuat di kapal lalu ditarik ke sini. Nanti dibenamkan di laut. Sejalan dengan itu kita terus kembangkan laboratorium dengan ITB dengan monasit yang kita miliki," beber Bob.

Turunkan tarif listrik

Regulasi terbaru yang memberikan indikasi arah maju (green light) untuk pembangunan PLTN yakni Kepmen 39K/20/MEM/2019 (RUPTL 2019-2028 (persiapan pembangunan PLTN) dan Perpres Nomor 18 tahun 2020-RPJMN 2020-2024 (Pembangunan PLTN paska 2024, periode 2020-2024 dimulai dengan beberapa kajian).

Baca juga: Pembangkit Listrik Virtual dan Perannya dalam Transisi Energi

Dari segi ekonomi, dengan adanya PLTT di Bangka Belitung juga akan berpotensi menurunkan tarif listrik, dan ini membawa dampak positif bagi industri elektronik berbasis IT.

"Dengan tarif listrik terjangkau, mendorong pertumbuhan ekonomi dan industri bahkan akan menjadi pusat dunia teknologi nuklir generasi terkini," ungkap Bob.

ThorCon ingin berinvestasi mengembangkan dan membangun PLT Thorium 500 MW tanpa APBN. Nantinya akan menjual listrik kepada PLN dengan kisaran harga yang kompetitif dari batu bara.

Bangka Belitung sendiri merupakan satu dari tiga lokasi yang menjadi pilihan untuk pembangunan PLTT. Selain itu ada Riau dan Pontianak yang bisa menjadi lokasi alternatif.

Bangka Belitung sendiri dipilih sebagai prioritas karena memiliki mineral ikutan timah berupa monasit yang jika diekstrak lagi akan menghasilkan thorium sebagai bahan bakar utama PLTT.

Plt Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Sugeng Sumbarjo mengungkapkan, pembangunan PLTT merupakan perencanaan jangka panjang, sehingga memerlukan proses yang cukup lama dengan melalui berbagai tahapan.

Baca juga: Nasib Daerah Penghasil Batu Bara di Era Transisi Energi

Namun, hadirnya PLTT akan memberikan dampak yang besar, khususnya manfaat bagi masyarakat maupun daerah.

Sugeng menyebut, salah satu peran Bapeten yakni memastikan tingkat keamanan, serta manfaat bagi masyarakat dalam proses pembangunan PLTT nantinya.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com