Kementerian Lingkungan Hidup Inggris juga menugaskan studi mengenai kemungkinan tersebut pada 2006. namun menyimpulkan bahwa hal tersebut belum layak secara politik atau ekonomi.
Singapura saat ini menjalankan skema yang memberi penghargaan kepada pengguna listrik yang efisien berupa token yang dapat ditukar dengan voucher belanja.
“Berbagai pihak telah mencoba skema sukarela yang melakukan hal-hal seperti visualisasi atau berbagi data energi atau emisi dalam skala yang lebih kecil,” kata Benjamin Sovacool, profesor Bumi dan Lingkungan di Universitas Boston.
“Tetapi koin-koin tersebut tidak memiliki skala dan cakupan seperti apa yang dipikirkan oleh China. Dan koin-koin tersebut tidak diintegrasikan ke dalam koin karbon, dan ini merupakan ide yang cerdas,” sambungnya.
Baca juga: Membiarkan Hutan Tumbuh Cegah Lepasnya 226 Miliar Ton Karbon ke Atmosfer
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengkomodifikasi pengurangan emisi dari berbagai aktivitas manusia, termasuk cara orang pergi bekerja, menghangatkan rumah, atau membuang sampah.
“Ini semua tentang verifikasi,” kata Yifei Li, profesor Studi Lingkungan di New York University kampus Shanghai.
“Jika menyangkut tingkat variabilitas, cara orang menjalani kehidupan mereka sangat berbeda. Itu adalah masalah besar,” ucapnya.
Wakil Ketua Komite Inklusi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup China Zhang Xin, mengaku butuh standar yang lebih baik untuk mengukur perilaku rendah karbon.
Baca juga: Harga Sertifikat Karbon Disarankan Minimal Rp 540.000 per Ton
Para pakar juga mengatakan masih belum jelas apakah skema tersebut menghasilkan pengurangan emisi atau sekadar mencatat pengurangan emisi yang terjadi.
Bulan ini, Shanghai mengeluarkan aturan bahwa skema yang mereka usung akan sepenuhnya terhubung dengan pasar karbon lokal. Perusahaan diizinkan untuk menerapkan carbon offset dari rumah tangga untuk memenuhi target.
Guangdong juga mengizinkan perusahaan untuk memenuhi 10 persen kewajiban pengurangan karbon melalui kredit inklusi karbon.
Di satu sisi, China masih jauh dari memenuhi ambisi perdagangan emisi tersebut.
Baca juga: Kejar Netralitas Karbon, Indonesia Perlu Tarik Investasi EBT dalam APEC
Sebagian besar penggunanya pasif. Salah satu skema yang berbasis di Beijing mengeklaim ada lebih dari 30 juta pengguna, namun hanya 1,4 persenyang aktif, menurut penelitian yang diterbitkan tahun ini.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa skema inklusi karbon justru akan melepaskan para industri penghasil emisi dengan mengalihkan beban pengurangan emisi ke rumah tangga.
“Arah yang mereka ambil saat ini adalah mengalihkan tanggung jawab iklim dari perusahaan-perusahaan besar dan lebih banyak lagi kepada individu,” kata Li.
Dia menambahkan, hal ini sangat berbahaya karena justru dapat mengasingkan individu dari aksi iklim.
Baca juga: Pengembangan Industri Remanufaktur Berperan Penting Capai Netralitas Karbon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya