Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/12/2023, 18:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Pengembangan bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia diprediksi bakal lambat.

Analis Energi Terbarukan Institute for Essential Services Reform (IESR) Pintoko Aji mengatakan, bauran EBT di Indonesia baru akan mencapai 23 persen pada 2044.

Itu pun dengan catatan skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) dan program lainnya berjalan dengan mulus.

Baca juga: Generasi Muda Berperan Penting dalam Transisi Energi di Indonesia

Pada 2050, bauran EBT baru akan mencapai 25 persen. Setelah itu, bauran EBT bisa saja turun apabila sektor industri, transportasi, dan captive tidak ada aksi mitigasi lebih lanjut.

Hal tersebut disampaikan Pintoko dalam media briefing peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024 yang diikuti secara daring pada Selasa (12/12/2023).

Padahal dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menargetkan EBT bisa mencapai 23 persen dari bauran energi nasional pada 2025.

Adapun pada 2050, porsi EBT ditarget minimal mencapai 31 persen dari bauran energi nasional.

"Pada tahun 2030, emisi sektor energi diproyeksikan sebesar 769,6 juta ton karbon dioksida ekuivalen," kata Pintoko.

Baca juga: Di COP28, Sri Mulyani Curhat Indonesia Butuh Dana Jumbo untuk Transisi Energi

Apabila ingin sesuai dengan Perjanjian Paris yang ingin mencegah suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius, emisi sektor energi perlu dipangkas 447,8 juta ton karbon dioksida ekuivalen atau sekitar 58,2 persen.

Penurunan tersebut dengan asumsi sektor yang tersambung jaringan atau ongrid 250 juta ton karbon dioksida ekuivalen dan sektor yang tidak tersambung jaringan alias offgrid 197,8 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyampaikan, IETO merupakan studi tahunan dari lembaga think tank tersebut untuk memantau perkembangan sekaligus memproyeksikan EBT di Indonesia.

IETO kali ini, kata Fabby, lebih lengkap daripada versi-versi sebelumnya.

Pasalnya, dalam IETO 2024, IESR tak hanya mengukur perkembangan transisi energi dari ketenagalistrikan, melainkan di sektor lain yakni industri, transportasi, dan bangunan.

Baca juga: BPK Ungkap Masalah Transisi Energi dan Rendahnya Kemajuan RUPTL

"Juga kajian terhadap kondisi enabling conditions dalam menentukan sukses tidaknya transisi energi," ucap Fabby.

Dia berujar, dibutuhkan empat faktor enabling conditions untuk menyukseskan transisi energi di Indonesia.

Keempat faktor tersebut adalah kerangka kebijakan atau regulasi, dukungan pendanaan serta investasi, aplikasi teknologi, dan dukungan masyarakat.

Fabby menyampaikan, selama tiga tahun terakhir percepatan transisi energi menghadapi kendala, sala satunya pandemi Covid-19 yang mengguncang perekonomian global.

"Kepemimpinan baru di tahun depan diharapkan punya komitmen yang sama bahkan lebih baik dalam transisi energi, terutama penurunan emisi dan peningkatan energi terbarukan sebelum 2030," tutur Fabby.

Baca juga: Percepat Transisi Energi Berkeadilan, PLN dan GEAPP Teken Kesepakatan

Sementara itu, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan Dewan Energi Nasional (DEN) Yunus Saefulhak menuturkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) saat ini sedang dalam tahap revisi.

Dalam Rancanang PP (RPP) KEN yang baru, transisi energi ditarget dapat mencapai puncak emisi antara 2030 hingga 2040.

Pada 2060, Indonesia ditarget dapat mencapai netralitas karbon alias net zero emission (NZE).

Bauran EBT juga direvisi, yakni antara 17 sampai 19 persen pada 2025. Pada 2060, porsi EBT ditarget antara 70 sampai 72 persen dari bauran energi nasional.

Yunue menyampaikan, target-target dalam PP KEN yang lama pada 2025 sulit tercapai karena mengasumsikan pertumbuhan makronya antara 7 sampai 8 persen.

Realitasnya, di tengah jalan pertumbuhan ekonomi justru melambat dan tidak sampai 7 persen.

Selain itu, ada beberapa urgensi RPP mengenai KEN seperti kebijakan energi yang perlu selaras dengan kebijakan perubahan iklim, tersusunnya grand strategi energi nasional, peninjauan kembali paling cepat lima tahun, dan lainnya.

Baca juga: Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia Perlu Terapkan 3 Prinsip Ini

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com