Blokade dimulai saat beredar video pernyataan Legal Eskternal PT IHIP atas nama Riski, menyampaikan bahwa jalan tani yang digunakan sebagai jalan holing adalah milik sah PT IHIP.
PT IHIP mengatakan hal itu berdasarkan MoU tukar guling aset dengan Bupati Morowali. Sebagai gantinya, PT IHIP mengerjakan perluasan bandara, yang ditandatangani 11 Maret 2024.
Baca juga: Hilirisasi Nikel Berdampak Serius terhadap Masyarakat Maluku Utara
Padahal, jauh sebelum ada perusahaan nikel, jalan tani Topogaro dan Dusun Folili sudah digunakan menuju ke situs budaya Gua Topogaro, dan kebun seperti kopi, kakao, serta sawah.
Rifiani mengatakan, MoU itu diresmikan sepihak, tidak diketahui oleh masyarakat, tanpa pemberitahuan atau sosialisasi, hingga tiba-tiba jalan tani sudah menjadi jalan holing.
Akses masyarakat menuju kebun pun terganggu akibat aktivitas alat berat yang lalu-lalang setiap harinya.
"Mereka (masyarakat lokal) minta untuk direlokasi sesegera mungkin oleh pihak perusahaan, karena mereka sudah tidak lagi nyaman berada di sana. Kenapa tidak nyaman? Karena aktivitas kendaraan perusahaan lalu-lalang di dusun," papar Rifiana.
Berujung kriminalisasi
Tuntutan warga adalah meminta pihak Pemda/Bupati Morowali membatalkan MoU, dan agar PT IHIP memperlihatkan dokumen. Namun, hingga saat ini, PT IHIP enggan memperlihatkan dokumen MoU tersebut dan malah menyampaikan bahwa dokumen itu bersifat rahasia.
Tak menjawab tuntutan masyarakat, PT IHIP justru melakukan somasi. Somasi pertama dilakukan 11 Juni 2024 kepada empat orang yaitu Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, dan Safaat, sebelum menerima panggilan Polda Sulteng.
Somasi kedua, pada 23 Juni 2024 perihal “Tindakan Pemalangan yang Mengakibatkan Berhentinya aktivitas (Investasi) PT BTIIG”, diberikan kepada lima orang yaitu Moh Haris Rabbie, Makmur Ms, Abd Ramdhan, Hasrun, dan Rifiana M.
Pada 22 Juni 2024, terjadi pertemuan antara pihak masyarakat, perusahaan, dan Forkopimda. Dalam pertemuan tersebut, pihak Pemda menyatakan MoU telah dibatalkan. Sementara pihak perusahaan tetap bersikeras bahwa MoU masih berlaku karena pembatalan tersebut bersifat sepihak.
Baca juga:
Menurut Eksekutif Daerah WALHI Sulteng Umang, dugaan upaya perampasan tanah yang dilakukan oleh PT IHIP sangat terselubung dan telah terjadi berulang kali sejak beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya, pada 2020, PT IHIP juga diduga menimbun jalur irigasi untuk jalan holing, menyebabkan 170 hektare sawah milik 20 KK masyarakat tidak produktif, tinggal tersisa 10 hektare yang saat ini masih dikelola.
Beragam tindakan dilakukan oleh PT IHIP untuk mendapatkan lahan masyarakat, sementara pemerintah tidak pernah hadir dalam menyelesaikan konflik tersebut, justru terkesan melindungi dan menjamin kepentingan perusahaan.
Praktik buruk dalam melakukan konsolidasi tanah selama pembangunan kawasan industri PT IHIP di Bungku Barat, kata dia, mirip dengan penjajah yang semena-mena marampas dan memanipulasi hak masyarakat.
"Memang sudah jauh (hari) sebelumnya. Apalagi hadirnya PT IHIP di Morowali ini yang pertama dia tidak punya izin kawasan, kemudian dia juga tidak punya amdal, apalagi pelanggaran-pelanggaran yang dia lakukan, kalau kita kasar bilang itu modelnya penjajah sebenarnya," papar Umang.
Hingga saat ini, kata Umang, perwakilan dari Sulteng tengah memproses sejumlah tuntutan kepada pemerintah.
Di antaranya, untuk membatalkan MoU tukar guling asset jalan tani di Desa Topogaro dan Ambunu, menghentikan upaya kriminalisasi, memerika pemda, dan menghentikan praktek perampasan tanah terselubung di Morowali.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya