KOMPAS.com - Ahli ekologi sering kali mengandalkan data kesehatan populasi ikan dan burung untuk mengukur kontaminasi merkuri di suatu wilayah.
Namun, analisis tersebut memerlukan biaya yang tak sedikit, memakan waktu, dan mengecualikan banyak ekosistem gurun.
Jadi bagaimana para ahli menyiasati tantangan tersebut?
Baca juga: Apa Pengertian Polutan dalam Pencemaran Lingkungan?
Ternyata ada satu cara yang bisa dilakukan, yakni dengan meminta bantuan capung.
Serangga tersebut dapat dengan mudah ditemukan di hampir semua habitat yang mengandung sedikit air.
Seperti dikutip dari Popular Science, Kamis (15/8/2024) dalam studi ini tim peneliti bersama relawan mengumpulkan larva serangga di 750 lokasi di 150 Taman Nasional.
Baca juga: Kepunahan Serangga Bisa Memicu Peperangan di Bumi
Larva itu kemudian dikirim ke peneliti untuk dievaluasi menggunakan instrumen canggih yang dirancang untuk mendeteksi spektrum kontaminan merkuri dan bagaimana logam beracun tersebut mencemari lingkungan yang berbeda.
"Dengan menggunakan teknologi mutakhir dan bekerja sama dengan relawan, kami mampu mengungkap hasil mengejutkan yang berpotensi mengubah cara merkuri dipantau dan dikelola dalam skala global," kata Sarah Janssen, ilmuwan di USGS yang juga penulis utama penelitian.
Dibandingkan ikan dan burung, capung bisa tumbuh subur di daerah jauh lebih kering yang berfungsi sebagai kolam sampel pembawa merkuri tradisional bagi para peneliti.
Larva mereka juga jauh lebih mudah didapatkan, berlimpah dan lebih mudah dianalisis.
Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap capung pun bisa memberikan wawasan baru tentang kontaminan beracun tersebut.
Menurut penelitian yang dipublikasikan di jurnal Environmental Science & Technology, merkuri dibawa melalui lingkungan sekitarnya.
Di daerah hutan dan lebih basah, merkuri berbentuk gas cenderung menempel pada daun tanaman dan pohon.
Namun, di daerah yang lebih kering, merkuri masuk melalui hujan dan salju yang jumlahnya lebih sedikit.
Baca juga: Kawanan Hewan Ini Mampu Serap Karbon Setara 84.000 Mobil
Dalam kedua situasi tersebut, logam beracun tersebut bergerak naik melalui rantai makanan hingga akhirnya terkonsentrasi paling banyak pada hewan besar, termasuk manusia.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya