Banyuasin dipilih sebagai lokasi restorasi dalam program SMART karena separuh mangrove yang tersisa di Sumatera Selatan terletak di kabupaten tersebut.
Akan tetapi, Kabupaten Banyuasin kehilangan ekosistem mangrove seluas 34.000 hektare selama 1990 hingga 2019. Penyebab utamanya adalah alihfungsi lahan untuk pertanian dan pembangunan infrastruktur pesisir.
Meski saat ini kerusakan mangrove di sana telah melambat, ancamannya masih ada, terutama untuk ekosistem mangrove yang berada di luar kawasan lindung.
Selain upaya restorasi, langkah merawat lahan mangrove yang tersisa di sana secara berkelanjutan juga tak kalah penting.
Di sisi lain, peran masyarakat sekitar juga diperlukan dalam menjaga mangrove. Oleh sebab itu, program SMART turut mengupayakan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam upaya restorasi mangrove di sana.
Baca juga: Ekosistem Gambut dan Mangrove Indonesia dalam Konstelasi Pemanasan Global
Ada tiga kunci intervensi yang menjadi fokus program SMART di kawasan tersebut.
Pertama, restorasi berbasis masyarakat. Selama tiga tahun hampir 40.000 bibit telah ditanam di lahan seluas 15 hektare lahan mangrove yang rusak.
Program ini juga membentuk pembibitan mangrove berbasis masyarakat dengan kapasitas 15.000 bibit per tahun.
Kedua, bisnis model yang berkelanjutan. Program SMART menginisiasi berbagai bisnis seperti adopsi pohon, produksi bibit mangove, silvofishery, ekowisata, hingga kewirausahaan.
Berbagai aktivitas tersebut telah dirasakan oleh lebih dari 300 masyarakat di sekitar.
Ketiga, kebijakan lokal. Proyek tersebut juga melibatkan otoritas lokal untuk mendukung kebijakan yang berbasis bukti.
Baca juga: Cerita 3 Pahlawan Mangrove Perjuangkan Daerahnya, Babel hingga Papua
Direktur CIFOR Indonesia Herry Purnomo menyampaikan, restorasi mangrove di sana merupakan bentuk kegigihan dan komitmen untuk memulihkan ekosistem yang ada.
"Apalagi kami ingin, ini partisipasi masyarakat yang menjadi leader-nya," ucap Herry.
Menurutnya, upaya restorasi mangrove selain membutuhkan landasan teori dari berbagai penelitian, juga masih memerlukan pengetahuan lokal masyarakat.
Hal tersebut dibutuhkan agar upaya restorasi mangrove di sebuah tempat bisa tepat sasaran sesuai dengan kondisi wilayah sekitar.
Selain itu, dengan mengajak masyarakat lokal dan mereka mendapatkan langsung manfaatnya dari restorasi mangrove, mereka bisa semakin sadar untuk menjaga lingkungan.
"Dan mereka akhirnya mendapat insentifnya. Mereka juga bisa jualan bibitnya sendiri. Itu yang membuat kamui turut bahagia," papar Harry.
Baca juga: Mangrove di Indonesia Simpan 3 Milyar Ton Karbon, Penting Dijaga
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya