KOMPAS.com - Kamis (29/8/2024) siang pukul 11.30 Waktu Indonesia Barat (WIB), di bawah terik matahari yang menyengat, Anton Kaelani berjalan menyusuri tanaman mangrove yang terhampar di pesisir laut Desa Sungsang IV, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sulawesi Selatan.
Di jari-jarinya terselip alat pengitung. Setiap dia melewati tanaman mangrove yang hidup, jarinya memencet tombol alat hitung.
Hari itu adalah bagian dari kesibukannya saban hari, mengitung bibit mangrove yang hidup yang ditanam lebih dari setahun lalu. Jika ada mangrove yang mati, dia mencatatnya di mana lokasinya.
Baca juga: Masa Kritis Mangrove 4 Tahun, Perlu Dirawat Setelah Ditanam
"Sekarang upaya kami tidak sia-sia. Setelah berupaya selama dua tahun lebih, akhirnya jerih payah kami terbayarkan," kata Anton dengan senyumnya.
Hamparan lahan mangrove tersebut merupakan bagian dari lahan rehabilitasi mangrove yang diinisiasi Center for International Forestry Research (CIFOR).
Melalui program bernama Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART), CIFOR berkolaborasi dengan Universitas Sriwijaya dan Forum Daerah Aliran Sungai Sumatra Selatan (Forum DAS Sumsel) serta didukug Temasek Foundation, ogranisasi filantropi asal Singapura.
Anton adalah bagian dari tim yang memonitor dan merawat mangrove-mangrove tersebut di lahan seluas 7,7 hektare yang terbagi menjadi dua zona.
Sebelum ditanami mangrove, berhektar-hektare lahan di sana rusak setelah upaya penanaman pohon kelapa yang dilakukan warga tidak berhasil.
Baca juga: Restorasi Mangrove di Banyuasin Ditarget Serap 180 Ton Karbon Dioksida
Padahal sebelumnya, lahan yang berjarak beberapa puluh kilometer dari Taman Nasional Sembilang tersebut merupakan ekosistem mangrove.
Kerusakan mangrove di sana membuat ekosistem di sana turut terganggu. Pada 2021, proyek restorasi mangrove bernama SMART dimulai di sana.
Dalam pemantauan mangrove, tim yang bertugas menerapkan metode sensus setiap harinya. Artinya, semua mangrove yang ada di sana dicatat kehidupannya, saban hari.
Junaedi, salah satu bagian dari tim pemantauan dan perawatan mangrove di sana menuturkan, metode sensus dipakai untuk benar-benar menganalisis upaya penanaman mangrove.
Baca juga: Lewat Program SMART, CIFOR Restorasi Mangrove Sambil Berdayakan Masyarakat
"Dari situ akan terlihat speses apa yang paling banyak hidup, spesies mana yang paling cocok. Sehingga kita bisa melakukan penyulaman dan penanaman," ucap Junaedi.
Selain itu, tim juga melakukan pembersihan dan sampah-sampah yang serta melakukan perawatan kanal.
Junaedi mengaku, tak mudah melakukan perawatan mangrove. Dibutuhkan kegigihan dan semangat pantang menyerah untuk melakukannya.
Belum lagi berbagai hambatan seperti pasang surut air laut yang membuat jam kerja mereka sangat terbatas setiap harinya.
"Air laut yang pasang memang jadi kendala terbesar kami. Terkadang kami hanya bisa bekerja setengah hari karenanya," tutur Junaedi.
Baca juga: 80 Persen Mangrove Rusak karena Alih Fungsi Lahan, Perlu Strategi Restorasi dan Perlindungan
Akademisi dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Tengku Zia mengatakan, perawatan dan pemantauan mangrove tersebut perlu dilakukan, mengingat masa kritis mangrove setelah ditanam adalah empat tahun.
Anggota tim Center of Excellence of Peatland and Mangrove Conservation and Productivity Improvement (CoE Place) Unsri tersebut mengatakan, selama kurun waktu empat tahun, bibit mangrove yang ditanam menghadapi berbagai tantangan.
"Berdasarkan pengalaman di lapangan, bibit mangrove yang ditanam hingga usia tiga sampai empat haun masih kritis. Masih sering diserang penyakit, hama, mengalami mati mendadak, dan lain sebagainya," kata Zia.
Metode perawatan dalam program SMART tersebut juga tidak ujug-ujug diimplementasikan begitu saja. Sebelumnya, Zia dan berbagai pihak yang terlibat dalam program tersebut melakukan berbagai eksperimen.
Berbagai eksperimen tersebut terbayar juga. Berbekal pengalaman yang ada, metode perawatan diteruskan hingga proses tambal sulamnya.
Baca juga: Mangrove dan Padang Lamun Berpotensi Jadi Gudang Karbon Biru RI
Selain itu, mencegah kekeringan juga perlu dilakukan agar bibit mangrove yang ditanam tetap mendapatkan suplai air yang cukup.
"Contohnya (penanaman mangrove) dibuat zonasi dan dibuat kanal dengan sekat. Sehingga ketika air masuk, ada yang tertahan dan mencegah kekeringan," ucap Zia.
Dia menyampaikan, setelah berusia empat tahun, mangrove menjadi lebih kuat dan stabil kehidupannya karena ditopang akar-akarnya yang ekstensif.
Zia menyayangkan, selama ini upaya penanaman mangrove tidak dilakukan perawatan dan pemantauan sehingga banyak yang gagal.
Padahal, agar penanaman mangrove bisa berhasil, berbagai upaya perawatan tersebut perlu dilakukan agar survival rate-nya tinggi.
"Lalu yang juga menjadi perhatian selanjutnya adalah berapa banyak yang hidup setelah beberapa tahun," tuturnya.
Baca juga: Garuda Indonesia Restorasi Lingkungan Lewat Penanaman Bibit Mangrove
Banyuasin dipilih sebagai lokasi restorasi dalam program SMART karena separuh mangrove yang tersisa di Sumatera Selatan terletak di kabupaten tersebut.
Akan tetapi, Kabupaten Banyuasin kehilangan ekosistem mangrove seluas 34.000 hektare selama 1990 hingga 2019. Penyebab utamanya adalah alihfungsi lahan untuk pertanian dan pembangunan infrastruktur pesisir.
Meski saat ini kerusakan mangrove di sana telah melambat, ancamannya masih ada, terutama untuk ekosistem mangrove yang berada di luar kawasan lindung.
Selain upaya restorasi, langkah merawat lahan mangrove yang tersisa di sana secara berkelanjutan juga tak kalah penting.
Di sisi lain, peran masyarakat sekitar juga diperlukan dalam menjaga mangrove. Oleh sebab itu, program SMART turut mengupayakan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam upaya restorasi mangrove di sana.
Baca juga: Ekosistem Gambut dan Mangrove Indonesia dalam Konstelasi Pemanasan Global
Ada tiga kunci intervensi yang menjadi fokus program SMART di kawasan tersebut.
Pertama, restorasi berbasis masyarakat. Selama tiga tahun hampir 40.000 bibit telah ditanam di lahan seluas 15 hektare lahan mangrove yang rusak.
Program ini juga membentuk pembibitan mangrove berbasis masyarakat dengan kapasitas 15.000 bibit per tahun.
Kedua, bisnis model yang berkelanjutan. Program SMART menginisiasi berbagai bisnis seperti adopsi pohon, produksi bibit mangove, silvofishery, ekowisata, hingga kewirausahaan.
Berbagai aktivitas tersebut telah dirasakan oleh lebih dari 300 masyarakat di sekitar.
Ketiga, kebijakan lokal. Proyek tersebut juga melibatkan otoritas lokal untuk mendukung kebijakan yang berbasis bukti.
Baca juga: Cerita 3 Pahlawan Mangrove Perjuangkan Daerahnya, Babel hingga Papua
Direktur CIFOR Indonesia Herry Purnomo menyampaikan, restorasi mangrove di sana merupakan bentuk kegigihan dan komitmen untuk memulihkan ekosistem yang ada.
"Apalagi kami ingin, ini partisipasi masyarakat yang menjadi leader-nya," ucap Herry.
Menurutnya, upaya restorasi mangrove selain membutuhkan landasan teori dari berbagai penelitian, juga masih memerlukan pengetahuan lokal masyarakat.
Hal tersebut dibutuhkan agar upaya restorasi mangrove di sebuah tempat bisa tepat sasaran sesuai dengan kondisi wilayah sekitar.
Selain itu, dengan mengajak masyarakat lokal dan mereka mendapatkan langsung manfaatnya dari restorasi mangrove, mereka bisa semakin sadar untuk menjaga lingkungan.
"Dan mereka akhirnya mendapat insentifnya. Mereka juga bisa jualan bibitnya sendiri. Itu yang membuat kamui turut bahagia," papar Harry.
Baca juga: Mangrove di Indonesia Simpan 3 Milyar Ton Karbon, Penting Dijaga
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya