KOMPAS.com - Menurut temuan awal dari sebuah studi terbaru, hampir tidak ada karbon dioksida yang diserap oleh alam tahun lalu.
Padahal, alam seperti hutan hingga samudera sangat penting untuk menyerap karbon dioksida dari atmosfer, mengatur suhu planet, dan mengurangi perubahan iklim.
Temuan tersebut mengemuka dalam studi berjudul Low latency carbon budget analysis reveals a large decline of the land carbon sink in 2023.
Baca juga: 99 Persen Perusahaan Asuransi Pilih Portofolio Investasi yang Rendah Karbon
Penelitian tersebut menyebutkan, pada tahun 2023, laju peningkatan emisi karbon dioksida sekitar 3,37 parts per million (ppm) dalam pengamatan di Mauna Loa, Hawaii.
Laju peningkatan tersebut 86 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Di sisi lain, emisi karbon diosida dari bahan bakar fosil global hanya meningkat sebesar 0,6 persen.
"Hal ini menyiratkan melemahnya penyerapan oleh daratan dan lautan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan menimbulkan pertanyaan mengapa penurunan ini terjadi," tulis tim peneliti dalam studi tersebut.
Penyebab situasi yang mengkhawatirkan ini bisa dikaitkan dengan krisis iklim itu sendiri.
Baca juga: Brasil Gelar Konsultasi Masyarakat Adat untuk Penjualan Kredit Karbon Amazon
Tahun 2023 sempat dinobatkan sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat. Kondisi tersebut memicu berbagai kasus degradasi lingkungan seperti mencairnya gletser, kebakaran hutan yang lebih sering terjadi, dan menghangatnya lautan.
Berbagai peristiwa tersebut mengganggu kemampuan alam untuk menyerap dan menyimpan karbon.
Dalam kasus hutan misalnya, kekeringan dan kebakaran dapat melepaskan karbon yang bisa lebih banyak daripada yang dapat diserap oleh hutan itu sendiri.
Meski demikian, temuan tersebut menggarisbawahi bahwa masih terlalu dini menyimpulkan apakah alam sudah benar-benar tidak menyerap karbon.
Studi tersebut menyampaikan, kebakaran hutan besar di belahan Bumi utara sepanjang 2023 bisa jadi berkontribusi terhadap lemahnya serapan karbon yang terjadi.
Baca juga: DNV Proyeksikan Emisi Karbon di 2050 Turun
Pada September, Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research Johan Rockstrom mengatakan, manusia sedang menyaksikan "keretakan" besar dalam sistem Bumi.
"Kita melihat keretakan besar di daratan. Ekosistem daratan kehilangan kemampuan penyimpanan karbon dan kapasitas penyerapan karbon, lautan juga menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan," kata Rockstrom, sebagaimana dilansir The Guardian.
Andrew Watson dari Exeter University menuturkan, pada prinsipnya penyerapan dari daratan dan lautan bisa menurun di masa depan sebagai akibat dari perubahan iklim.
Baca juga: Ketahui Sumber-sumber Jejak Karbon yang Dihasilkan Manusia
"Ada pertanyaan tentang seberapa cepat hal itu akan terjadi. Pelambatan kemungkinan bisa terjadi 100 tahun ke depan atau lebih," kata Watson.
Banyak peneliti mengatakan, tantangan sebenarnya adalah melindungi tempat penyimpanan karbon yang sudah dimiliki Bumi dengan menghentikan penggundulan hutan, mengurangi emisi, dan memastikannya tetap sehat semaksimal mungkin.
Di sisi lain, Profesor Pierre Friedlingstein Exeter University mengatakan, manusia tidak boleh bergantung 100 persen kepada alam untuk menyerap karbon,
"Kita benar-benar harus mengatasi masalah besar: emisi bahan bakar fosil di semua sektor," kata Friedlingstein.
Baca juga: Keanekaragaman Tanaman Pertanian Bisa Tingkatkan Penyerapan Karbon oleh Tanah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya