Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/05/2024, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Proyek-proyek hilirisasi nikel dinilai menimbulkan dampak yang serius terhadap masyarakat di Maluku Utara.

Hal tersebut mengemuka dalam kertas posisi berjudul Daya Rusak Hilirisasi Nikel: Kebangkrutan Alam dan Derita Rakyat Maluku Utara yang disusun oleh Forum Studi Halmahera (Foshal), Trend Asia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Menurut laporan tersebut, ada 58 izin konsesi nikel di Maluku Utara dengan luas 262.743 hektare.

Baca juga: Emisi Karbon Baterai Nikel Lebih Tinggi daripada LFP

Di atas Pulau Halmahera terdapat 28 izin nikel. Di Halmahera Tengah, izin konsesi tambang bahkan memenuhi hampir setengah dari total luas wilayah kabupaten.

Kertas posisi tersebut turut menyoroti rusaknya sejumlah daerah aliran sungai (DAS) di Maluku Utara serta kerusakan perairan hingga melampaui baku mutu akibat limbah industri nikel.

Di samping itu, polusi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang melistriki kawasan industri nikel juga mencemari udara Maluku Utara.

Kertas posisi tersebut melaporkan, praktik industri yang serampangan juga berujung pada rangkaian kecelakaan kerja.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Foshal Julfikar mengatakan, data yang dipaparkan dalam kertas posisi tersebut menunjukkan fakta yang berkebalikan dari klaim pemerintah yang menggadang-gadang hilirisasi nikel untuk kemakmuran.

Baca juga: Pemerintah Susun Peta Jalan Dekarbonisasi Nikel

"Faktanya kelestarian alam, kekayaan sumber kehidupan warga hingga kesehatan warga
telah direnggut sebagai biaya yang harus ditanggung atas nama hilirisasi," kata Julfikar dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (28/5/2024).

Juru Kampanye Energi Trend Asia Novita Indri menuturkan, Indonesia perlu menyeimbangkan kebutuhan atas pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan pelibatan masyarakat, serta merealisasikan transisi energi berkeadilan.

"Hilirisasi nikel yang serampangan hanya akan memindahkan masalah: konon Jakarta dibayangkan akan lebih bersih, namun tempat seperti Maluku dihancurkan," papar Novita.

Dia menambahkan, jika dihitung secara total, dampak kerusakan lingkungan dalam jangka panjang justru akan menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar.

Manajer Kampanye YLBHI Zainal Arifin berujar, label Proyek Strategis Nasional (PSN) memberi karpet merah untuk korporasi melakukan perusakan demi kepentingan ekonomi.

Baca juga: 6 Pulau Kecil di Maluku Utara Jadi Konsesi Tambang Nikel

"Sementara warga yang merasa dirugikan dicap tidak nasionalis karena menghalangi kepentingan negara," tutur Zainal.

Pada peringatan Hari Anti Tambang 29 Mei, Foshal, Trend Asia, dan YLBHI menyerikan  mengingat bahaya dari pertambangan mineral kritis yang serampangan dan tidak bertanggung jawab.

Foshal, Trend Asia, dan YLBHI turut mendesak pemerintah untuk mengembalikan wilayah dan memulihkan semua sumber kehidupan warga yang dirampas atas nama kepentingan hilirisasi industri nikel.

Pemerintah juga didesak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, dampak
kesehatan, dan hilangnya sumber penghidupan warga di Maluku Utara.

Pemerintah dituntut mengendalikan praktik industri serampangan yang berujung pada kecelakaan kerja, serta menghentikan praktik represi dan kriminalisasi yang kerap digunakan kepada warga yang melawan.

Baca juga: Pemerintah Didesak Cabut Izin Tambang Nikel di Pulau Fau

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com