Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Target Indonesia Punya 700 GW Pembangkit EBT

Kompas.com, 19 September 2023, 11:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia menargetkan ada 700 gigawatt (GW) pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) yang terpasang pada 2060 mendatang.

Hal tersebut disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam "Indonesia Energy Transition Dialogue 2023" di Jakarta, Senin (18/9/2023).

Dia menyampaikan, kebutuhan listrik Indonesia diperkirakan akan mencapai 1.942 terawatt jam (TWh) pada 2060.

Baca juga: Pemerintah Optimistis Capai NZE Sebelum 2060, EBT Jadi Andalan

Oleh sebab itu, pengembangan EBT mutlak diperlukan untuk mencapai net zero emission (NZE) sekaligus menggantikan pembangkit listrik berbasis energi fosil.

Dari berbagai jenis EBT, Arifin mengungkapkan Indonesia memilki potensi yang melimpah ruah seperti surya, panas bumi, air, dan lain-lain.

Dia menuturkan, pembangkit listrik energi surya (PLTS) akan ditingkatkan secara besar-besaran mulai 2030.

Sedangkan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) akan dimaksimalkan hingga mencapai 22 GW.

Baca juga: PLTU Batu Bara Ditinggal, Penambahan Pembangkit Listrik Fokus ke EBT

“PLTA (pembangkit listrik tenaga air) pump storage akan dikembangkan pada 2025,” ungkap Arifin, sebagaimana dilansir Antara.

“Sedangkan sistem penyimpanan energi baterai akan dibangun secara besar-besaran pada 2034,” sambungnya.

Pemerintah juga menyiapkan dana untuk mengurangi risiko tinggi pengembangan PLTP di 20 wilayah kerja yang berpotensi menghasilkan listrik 6.783 megawatt (MW).

Menurutnya, listrik dari sumber yang ramah lingkungan akan memenuhi permintaan masyarakat dari program elektrifikasi pemerintah.

Baca juga: Akselerasi EBT, SUN Energy Resmikan PLTS Terbesar di Sektor Pendidikan Indonesia

Program-program elektrifikasi tersebut seperti penggunaan kendaraan listrik dan kompor listrik yang dilengkapi dengan pembangunan stasiun pengisian daya.

Berbagai program itu diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada energi fosil yang tidak ramah lingkungan.

Hanya saja, dalam melakukan transisi energi, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan.

Beberapa hambatan yang dimaksid contohnya ketersediaan teknologi, praktik teknologi yang masih perlu terus diperbaiki, ketersediaan infrastruktur pendukung, serta pendanaan yang terbatas.

Baca juga: Bahan Bakar Nabati Diintegrasikan dalam Peta Jalan EBT ASEAN

Indonesia sendiri mendapatkan komitmen dana melalui skema Just Energi Transition Partnership (JETP) untuk mengupayakan percepatan transisi energi yang berkeadilan, khususnya di sektor pembangkit listrik.

“Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan sehingga kami berharap dapat terus berkolaborasi dengan negara lain,” ujar Arifin.

Di sisi lain, dia juga mengungkapkan bahwa pemerintah berencana mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

PLTN pertama akan dikomersialisasi pada 2039. Setelah itu, kapasitasnya akan ditingkatkan hingga mencapai lebih dari 30 GW pada 2060.

Baca juga: Pembangkit Listrik EBT Baru Naik 91 MW, Energi Fosil Bertambah 900 MW

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
IEA: Dunia Menjadi Lebih Hemat Energi, tetapi Belum Cukup Cepat
IEA: Dunia Menjadi Lebih Hemat Energi, tetapi Belum Cukup Cepat
Pemerintah
Intensifikasi Lahan Tanpa Memperluas Area Tanam Kunci Keberlanjutan Perkebunan Sawit
Intensifikasi Lahan Tanpa Memperluas Area Tanam Kunci Keberlanjutan Perkebunan Sawit
Swasta
Industri Penerbangan Asia Pasifik Siap Penuhi Target 5 Persen Avtur Berkelanjutan
Industri Penerbangan Asia Pasifik Siap Penuhi Target 5 Persen Avtur Berkelanjutan
Pemerintah
Indonesia Ingin Bangun PLTN, tapi Geopolitik Jadi Pertimbangan Utama
Indonesia Ingin Bangun PLTN, tapi Geopolitik Jadi Pertimbangan Utama
Pemerintah
Cerita dari Pulau Obi: Reklamasi Tambang Tak Sekadar Menanam Ulang
Cerita dari Pulau Obi: Reklamasi Tambang Tak Sekadar Menanam Ulang
Swasta
Momen Haru, Orangutan Artemis dan Gieke Kembali ke Hutan Setelah Rehabilitasi
Momen Haru, Orangutan Artemis dan Gieke Kembali ke Hutan Setelah Rehabilitasi
Pemerintah
Survei Deloitte: Eksekutif Terus Berinvestasi dalam Keberlanjutan
Survei Deloitte: Eksekutif Terus Berinvestasi dalam Keberlanjutan
Swasta
Arktik Terdalam Memanas, Krisis Iklim Meluas
Arktik Terdalam Memanas, Krisis Iklim Meluas
Pemerintah
IESR: RI Belum Siap Transisi Energi karena Lembaga Pembayaran Gelontorkan Dana ke Energi Fosil
IESR: RI Belum Siap Transisi Energi karena Lembaga Pembayaran Gelontorkan Dana ke Energi Fosil
LSM/Figur
BMKG Perkirakan Hujan Terjadi di Sejumlah Daerah hingga 27 November
BMKG Perkirakan Hujan Terjadi di Sejumlah Daerah hingga 27 November
Pemerintah
Ancaman Pengasaman Laut di Perairan Paparan Sunda
Ancaman Pengasaman Laut di Perairan Paparan Sunda
Pemerintah
Perubahan Iklim Berisiko Tingkatkan Penyakit Pernapasan hingga Gangguan Mental
Perubahan Iklim Berisiko Tingkatkan Penyakit Pernapasan hingga Gangguan Mental
LSM/Figur
Bentrok dengan Komitmen Iklim, Reklamasi Surabaya Ancam 900 Hektar Mangrove
Bentrok dengan Komitmen Iklim, Reklamasi Surabaya Ancam 900 Hektar Mangrove
LSM/Figur
Satu Dekade RI Gagal Capai Target Bauran Energi Terbarukan, Penasihat Presiden: Memang Kita Negara Berkembang
Satu Dekade RI Gagal Capai Target Bauran Energi Terbarukan, Penasihat Presiden: Memang Kita Negara Berkembang
LSM/Figur
Pemerintah Dinilai Tidak Kompak Dorong Energi Terbarukan
Pemerintah Dinilai Tidak Kompak Dorong Energi Terbarukan
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau