Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/10/2023, 10:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih menuyusun peta jalan pensiun dini operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi menyampaikan, peta jalan tersebut disusun sesuai mandat Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022.

Salah satu target peta jalan tersebut menargetkan pengakhiran dini operasional PLTU batu bara hingga 2030 dengan total kapasitas 6,1 gigawatt (GW).

Baca juga: Teknologi Penangkap Karbon Lebih Mahal daripada Pensiun Dini PLTU Batu Bara

Hal tersebut guna mencapai target Just Energy Transition Partnership (JETP) yakni mencapai puncak emisi 290 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Hal tersebut disampaikan Yudo dalam hari pertama "Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023" di Jakarta, Senin (10/10/2023).

Sebagai ganti pemensiunan PLTU batu bara, perlu skenario pemanfaatan energi lainnya.

“Agar keandalan sistem energi terjaga, maka ada skenario alternatif seperti pemanfaatan energi terbarukan menggunakan baterai, interkoneksi energi terbarukan Jawa-Sumatera, co-firing PLTU dengan maksimum 10 persen,” ungkap Yudo.

Baca juga: 23,7 Persen Pembangkit Listrik Batu Bara Indonesia adalah PLTU Captive

Kepala Deputi Sekretariat JETP Paul Butarbutar menuturkan, pensiun dini PLTU batu bara masuk dalam lima area fokus JETP.

Dia menuturkan, selain pensiun dini PLTU batubara, fokus investasi di bawah skema JETP lain adalah pembangunan transmisi dan distribusi energi terbarukan yang bersifat dapat dikontrol dan konstan.

Selain itu mengembangkan variabel energi terbarukan dan rantai pasok, serta program transisi energi berkeadilan.

Sementara itu, biaya untuk penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) lebih mahal dibandingkan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Hal tersebut disampaikan Staff Program untuk proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara (SEA) Institute for Essential Services Reform (IESR) Fadhil Ahmad Qamar pada hari kedua ISEW 2023, Rabu (11/10/2023).

Baca juga: PLTU Batu Bara Terakhir di Indonesia Pensiun 2058

Fadhil menyampaikan, biaya penambahan teknologi CCS untuk memperpanjang usia PLTU batu bara cenderung tinggi disebabkan oleh besarnya biaya pengadaan atau modal awal.

Selain itu, CCS membuat biaya operasional PLTU batu bara juga meningkat, sebagaimana rilis yang diterima dari IESR.

Di sisi lain, pensiun dini PLTU batu bara dapat menurunkan emisi yang mirip dengan penerapan CCS, namun dengan biaya yang lebih rendah.

Dia menuturkan, agar nilai ekonomi antara pensiun dini PLTU batu bara dengan penerapan CCS dapat diketahui, perlu disertai penerapan harga karbon yang tepat.

“Untuk dapat menerjemahkan manfaat pengurangan emisi dari pengakhiran dini operasional PLTU batu bara dan penerapan teknologi CCS pada PLTU batu bara dalam nilai ekonomi, maka perlu disertai dengan penerapan harga karbon yang tepat sebagai bagian dari pembiayaan inovatif. Sehingga tidak membebankan anggaran negara,” ungkap Fadhil.

Baca juga: Aktivis Desak OJK Keluarkan PLTU Batu Bara dari Revisi Taksonomi Hijau

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com